31 December 2012

CATATAN HARIAN SEORANG RELAWAN (Bag.03)

Setelah menempuh perjalanan selama 9 jam, akhirnya sampai juga kami di tujuan. Masjid Agung Bireuen adalah tempat kami beraktivitas.Masjid kebanggaan warga Bireuen. Di masjid ini pula menjadi saksi pelaksanaan hukuman cambuk pertama yang di publikasikan secara luas pada 24 Juni 2005.

Orang pertama yang kami temui adalah Ustadz Aan Alamsyah. Beliaulah mudir yayasan Al-Marhamah Aceh. Di masjid ini saya berkenalan dengan relawan lain yang lebih dahulu sampai, seperti Mabsus, Rahmat Ahmadi, Zulkarnaen, Nasrulloh, Abu Ahmad, dll. Juga relawan lokal asli Bireuen yang juga aktivis masjid ini seperti Ustadz Azhari, Cik Ihsan, Zulfan, Junaedi, dll. Dan kami di perkenalkan dengan pengurus masjid ini yaitu Ustadz Saiful yang biasa dipanggil Cik Pul.

Malam pertama di Tanah Rencong kami lewati dengan berbincang-bincang dengan para relawan. Akhirnya kamipun tertidur lelap di ruang perpustakaan masjid. Melepas kelelahan kami setelah menempuh perjalanan Medan - Bireuen.

Kamis, 27 Januari 2005

Lantunan ayat suci yang indah membangunkan saya. Murottal yang distel dari kaset oleh Zulfan membahana disampai radius 2 km. Menyiratkan bahwa waktu sholat Subuh sedikit lagi, bersiaplah !! Setengah jam kemudian barulah suara merdu Zulfan menyatu dengan azan yang dikumandangkan.


Alhamdulillah, akhirnya saya bisa bekerja di lingkungan yang Islami sehingga bisa bersama dengan orang-orang yang sholih, yang bisa menunaikan sholat fardu tepat waktu dan berjama'ah di masjid. Karena memang sebelumnya saya bekerja di studio foto lebih dari 5 tahun. Berbeda dengan suasana sekarang yang lebih islamis.

Aktivitas pertama kami dihari pertama adalah 'nongkrong di kedai kopi'. Ya, inilah aktivitas yang sering dilakukan oleh hampir semua warga Aceh.Minum kopi bagi warga Aceh sudah menjadi tradisi dan lifestyle. Bagi yang pernah ke Aceh, tak heran jika melihat banyaknya kedai kopi di pinggir jalan. Karena orang aceh disini minimal 3 kali sehari minum kopi. Dan nongkrong di kedai kopi bukan hanya sekedar nongkrong, mereka saling berinteraksi guna membicarakan politik, budaya dan isu-isu nasional lainnya.

Dapur Umum

Pukul 10 pagi mulailah kita gotong royong membangun dapur umum untuk para santri makan. Relawan yang ada saat itu sekitar 12 orang. Ada yang membuat meja makan, kursi panjang dan kompor atau tungku masak. Ada seorang bapak tua asli Aceh yang akan kita libatkan dalam masalah memasak ini. Nama panggilannya Ayah. Umurnya sekitar 50 tahunan, tapi fisiknya masih kuat.Sedangkan relawan dari masak yang ditugaskan di dapur adalah Mabtsus. Dia memang sebelumnya bekerja sebagai juru masak disebuah pesantren di daerah Cirebon.

Sore harinya perlengkapan tidur seperti ranjang, kasur dan selimut datang dari Medan menggunakan truck besar. Semua relawan bergotong royong mengangkut dan memasang ranjang hari itu juga hingga malam hari. Karena esoknya para calon santri akan mulai berdatangan. Jadi kami ekstra keras bekerja mempersiapkan semuanya.

Malam jum'at itu saya tidur larut malam. Berbincang sama Abu Ahmad, seorang relawan dari Jakarta yang baru aku kenal. Sekitar jam satu malam barulah kami tertidur diantara ranjang para santri di lantai 2 Gedung Mahad Al-Qur'an dibelakang Masjid Agung Bireuen.

Jum'at, 28 Januari 2005

Dingin masih menyelimuti pagi. Akupun mengantri mandi di deretan kamar mandi umum yang baru dibangun. Disamping Mahad Al-Qur'an, dibelakang masjid jami.Untuk menampung ratusan santri diperlukan kamar mandi yang banyak dan kolam besar untuk aktivitas cuci baju maupun mandi.

Setelah semuanya sudah cukup siap, selepas sholat Jum'at para calon santri mulai berdatangan dari gampong Tanah Ano- Muara Bate, Lhokseumawe. Ada sekitar 80 santri dalam gelombang pertama ini. Diantara mereka ada juga dari Samalanga, Jeunib dan gampong-gampong di pinggiran pantai wilayah Bireuen, seperti Gampong Ujong Blang, Kuala Raja dan Alue Buya Pase.

Aku yang saat itu bekerja di bagian pendataan santri, cukup sibuk mengurus pendataan. Apalagi sebagian besar orangtua mereka sangat minim berbahasa Indonesia. Jadi terkadang aku dibantu oleh Zulfan untuk menerjemahkan bahasa mereka.

Dan dari mereka pula kudapati cerita tentang detik-detik tragedi tsunami dari para korban yang selamat. Salah satunya adalah seorang anak dari daerah Tanah Ano - Muara Batu. Namanya aku lupa. Saat datangnya tsunami dia sedang berada dipinggir pantai. Dia melihat turunnya permukaan air laut. Saat ombak besar pertama datang dia sempat lari dan menuju kerumahnya yang ada adik dan ibunya. Tapi sayang ibunya tak percaya perkataannya bahwa ada ombak besar dan menolak untuk lari meninggalkan rumah. akhirnya anak ini lari meninggalkan rumah, ibu dan adiknya menuju jalan raya Medan - Banda Aceh yang relatif lebih tinggi dari pantai. saat itu ayahnya sedang bekerja lembur di sebuah sekolah menengah. Beberapa jam kemudian anak ini bertemu dengan ayahnya di sebuah tenda pengungsian. Adik dan ibunya tidak ditemukan dan meninggal di terjang tsunami.

Bersambung ...








No comments:

Post a Comment